Secara yuridis keberadaan konselor dalam system pendidikan
nasional dinyatakan sebagai salah satu kualifikasi pendidik, sejajar dengan
kualifikasi guru, dosen, pamong, tutor sebagaimana disebutkan dalam pasal 1
ayat 6 UUNo. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Tetapi konteks tugas konselor berbeda dengan
guru mata pelajaran yang menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks
layanan, sedangkan konselor tidak menggunakan materi pembelajaran sebagi konteks
layanan sehingga merupakan sosok layanan ahli yang unik. Dalam ketentuan
perundangan tidak ditemukan pasal dan ayat yang membahas standar kompetensi
yang khas yang dapat diberlakukan oleh konselor. Hal ini lah yang membuat
kerancuan mengenai konteks tugas konselor.
Jika kita mengamati kurikulum 1975, ada pelajaran berharga
yang dapat kita petik yang secara konseptual telah tepat memetakan jenis
wilayah layanan dalam system persekolahan dengan mengajukan tiga wilayah
layanan, yaitu :
a.
Administrasi dan manajemen
Yang dilaksanakan oleh Kepala Sekolah serta
jajarannya
b.
Kurikulum dan pembelajaran
Yang dilakukan oleh Guru
c.
Bimbingan dan konseling
Yang dilakukan oleh Konselor
Akan tetapi , integritas layanan bimbingan dan konseling
justru dicederai melalui kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, dimana
diperkenalkannya Materi Perkembangan Diri yang dinyatakan berada diluar
kelompok mata pelajaran dan dikaitkan dengan “konseling”, sehingga timbul kesan
bahwa konselor adalah pendidik yang diamanati untuk menyampaikan materi pengembangan
diri serta dipertanggungjawabkan melakukan penilaian pada akhir tiap kegiatan
penyampaian materi, sehingga berdampak menyamakan ekspetasi kinerja konselor
yang secara hakiki tidak menggunakan materi pembelajaran sebagai konteks
layanan . jika dicermati yang menjadi akar permasalah yang menimbulkan
kekisruhan konseptual ini adalah ditetapkannya Materi Pengembangan diri yang
dinyatakan berada diluar kelompok mata pelajaran , yang penyampaiannya
diisyaratkan melalui pelayanan bimbingan dan konseling sehingga menuntut
konselor untuk melakukan tugas dengan cara yang dilakukan guru mata pelajaran.
Jika kita melihat kurikulum 1994, ada ruang gerak bagi layanan ahli
bimbingan dan konseling dalam system persekolahan di Indonesia, sebab salah
satu ketentuannya adalah mewajibkan tiap sekolah untuk menyediakan 1 orang
konselor untuk setiap 150 peserta didik, meskipun pada kenyatannya 1 orang
konselor menangani hampir semua peserta didik
yang ada dalam suatu sekolah, walalupun ada pihak yang juga turut membantu atau
bekerja sama dengan konselor dalam hal ini. Meskipun konteks tugas konselor berbeda dengan guru, namun itu tidak dijadikan pemisah diantaranya melainkan harus bekerja sama saling bahu membahu untuk menghasilkan lulusan yang memiliki karakter yang kuat.
Sumber : Buku Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal
Sumber : Buku Penataan Pendidikan Profesional Konselor dan Layanan Bimbingan dan Konseling dalam Jalur Pendidikan Formal
Tidak ada komentar:
Posting Komentar